"Benang kusut bisa saja dirapihkan kembali. Tapi apakah bisa rapih seperti awal? Susah dan harus berhati-hati, karena jika ditarik dengan paksa maka benang akan putus atau jika tidak sengaja terbentuk simpul mati, maka akan sangat sulit untuk mengembalikannya rapih seperti semula. Sama halnya dengan hati yang dikecewakan berkali-kali. Mohon maaf dan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan, bisa saja dimaafkan dan kembali seperti biasanya. Tapi apakah dilupakan? Belum tentu."
Di luar sedang panas terik. Aku duduk bersandar di kursi empuk ini, dengan kepala menengadah ke atas, menghadap ke langit-langit café. Kulepaskan kacamataku, dan menaruhnya sembarang di atas meja. Kemudian kupejamkan mataku sejenak dan mengurut kedua pelipisku dengan kedua jariku perlahan. Pusing sekali.
“Mbak, pesan seperti biasa?”
Terdengar suara lelaki yang tak asing bagiku.
Aku hanya menganggukkan kepalaku dua kali.
“Sebentar ya, Mbak.”
“Makasi, Mas.” Aku menjawab tetap dengan mata
terpejam.
Tidak sampai 30 menit, sepertinya. Terdengar suara
lagi,
“Hot choco hazelnut, no whipped
cream, double medium beef burger sama mashed
potato extra garlicnya seperti biasa. Lagi pusing ya, Mbak? Mau tambah ice cream? Biar mendingan pusingnya.
Atau saya ambilkan obat, Mbak?”
Kubuka mataku dan memaksakan diri untuk duduk
dan tersenyum.
“Ndak usah, Mas Ical. Makasi ya.”
“Ya sudah, Mbak. Kalau butuh apa-apa panggil
saya aja ya. Permisi, Mbak.”
“Iya, makasi banyak ya.”
-----------------------------------------------------------------
Ya Tuhan…denyutan kepalaku semakin terasa. Aku atur napas berkali-kali, menyesap sesekali hot choco ini. Tak lama polytronku terasa bergetar. Kulirik, tapi tidak kubuka pesannya. “Izinkan aku beristirahat sejenak, please.”
Andai saja aku bisa menjawab pesan itu dengan mudahnya.
Ya Tuhan…denyutan kepalaku semakin terasa. Aku atur napas berkali-kali, menyesap sesekali hot choco ini. Tak lama polytronku terasa bergetar. Kulirik, tapi tidak kubuka pesannya. “Izinkan aku beristirahat sejenak, please.”
Andai saja aku bisa menjawab pesan itu dengan mudahnya.
Kupakai kacamataku dengan malas dan mulai
melahap beef burger.
Aku lihat sekeliling café, tidak begitu ramai seperti biasa. Itu salah satu sebabnya aku
sering mampir…mmm kalau mampir kan cuma sebentar ya…mmm ya bisa dibilang bertapa
karena bisa berjam-jam aku berdiam diri di sini untuk menenangkan diri. Sampai
barista-baristanya hapal denganku.
Dengan sebelah tangan menyangga kepala, mataku masih menjelajah ke sekeliling café. Pandanganku
terhenti di segelas orenjus di antara kedua pasangan yang duduk tak jauh dari
kursi yang kududuki. Pasangan? Sok tau sih. Tapi kayaknya mereka pasangan
kekasih yang lagi lomba diem-dieman paling lama dan yang menang nanti boleh
minum orenjusnya. Ngaco. Ngaco banget.
Kusesap perlahan hot chocoku. Samar-samar terdengar,
“Maafin aku dong. Jangan
diem terus. Mau marah sampai kapan?”
Tuhkan apa kubilang, mereka memang pasangan
kekasih, dan sepertinya yang cewek lagi marah sama pacarnya.
Mimik wajah si cewek dari tadi aku perhatikan
tidak berubah sama sekali.
“Kalau kamu nepatin janjimu, aku nggak bakal
kayak gini. Ngerti?”
“Iya aku tau aku salah. Lain kali aku nggak bakal ulangin
lagi. Janji. Maafin aku ya?”
Aku menghela napas panjang. Oh, boys. Se…la…lu.
“Lain kalinya kali keberapa? Kamu tau kalau kamu salah, tapi kenapa waktu
aku lagi marah sama kamu kamu masih bisa bercandaan sama dia? Genit-genitan
lagi. Maksudmu apa? Gitu itu yang namanya sadar kalau punya salah? Ha? Lucu!!!”
Air wajah si cewek berubah menjadi asam, kecut,
seperti orenjus yang ada di antara mereka berdua. Dan si cowok hanya bisa
menunduk seperti sedotan dalam gelas orenjus itu. Sepertinya mereka jodoh.
Ngaco.
Makin ngaco.
Sudahlah, tak sanggup lagi aku menahan denyutan
kepalaku ini, ditambah drama yang ada di kursi seberang itu. Kupanggil Ical dan
meminta makananku untuk dibungkus dan kubawa pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar